Senin, 09 Januari 2012

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Nama Penulis      : Suprianto, S.Pd

NIM                   : 20102813006
NIP                    : 197409032000031001
Pekerjaan            : Guru Teknik Elektro SMK
                            Negeri 2 Sekayu
Pendidikan          : SDN Benakat Minyak M. Enim.
                            SMPN Talang Ubi Pendopo
                            STM Negeri 2 Palembang (listrik)
                            FPTK IKIP Padang (Listrik)
                            S2 Teknologi Pendidikan UNSRI 
                           

LANDASAN TEORI PSIKOLOGI
DALAM TEKNOLOGI PENDIDIKAN

A.   Pendahuluan.
1.      Latar Belakang.
Psikologi berasal bahasa yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu, secara harfiah psikologi dapat diartikan yaitu  ilmu tentang jiwa manusia. Menurut Branca ( Khodijah, 2006:2 ) menyatakaan bahwa psikologi sebagai ilmu tentang perilaku. Menurut Woodworth dan Marquis ( Khodijah, 2006: 2 ) , menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu tentang aktivitas individu, baik aktivitas motorik, kognitif maupun emosional. Definisi ini, lebih bersifat praktis karena langsung mengarah pada aktivitas kongkrit yang dilakukan manusia sebagai manifestasi kondisi kejiwaannya.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan psikologi adalah  ilmu pengetahuan tentang proses mental dan perilaku seseorang yang merupakan manifestasi atau penjelmaan dari jiwa orang.
Pengertian Landasan Teori Psikologis dalam penulisan makalah ini merupakan pemahaman terhadap peserta didik yang berkaitan dengan aspek psikologi, antara lain teori psikologi perkembangan, teori psikologi belajar, teori psikologi sosial dan psikologi individu. Pemahaman guru terhadap landasan psikologi ini merupakan salah satu kunci keberhasilan proses pembelajaran dalam meningkatkan mutu pendidikan peserta didik. Oleh karena itu, hasil kajian dan penemuan-penemuan dari penelitian yang berkaitan dengan masalah psikologis peserta didik sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan.
Penerapan teori psikologi dalam proses belajar dan pembelajaran yang terjadi di dunia pendidikan, apabila diperhatikan akan menunjukkan perbedaan karakteristik tiap individu yang belajar. Tiap individu memiliki karakteristik dan keunikan yang berbeda satu sama lain baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaan serta kondisi latar belakang individu yang bersangkutanHal ini membutuhkan pengelolaan yang berbeda dan pembinaan yang tepat. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai guru untuk menguasai ilmu pengetahuan psikologi.
Guru yang menguasai ilmu psikologi akan membuat kondisi siswa yang belajar  menyenangkan bagi siswa tersebut, Tetapi jika guru tidak memahami ilmu psikologi maka siswa kurang mendapatkan perhatian dari pendidik. Sebagian besar guru mengajar dengan metode ceramah dan “menjejali” anak dengan materi pelajaran untuk mengejar target kurikulum. Akibatnya hasil pembelajaran kurang signifikan sesuai dengan kompetensi yang diharapkan sesuai kurikulum. Sebaiknya para tenaga pendidik mulai berbenah diri agar beberapa kompetensi guru profesional dimiliki guru, termasuk pemahaman tentang psikologi sehingga proses belajar akan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pembelajaran.
Psikologi dibutuhkan di berbagai ilmu pengetahuan untuk mengerti dan memahami kejiwaan dan perilaku seseorang.  Psikologi juga merupakan suatu disiplin ilmu berobyek formal perilaku manusia, yang berkembang pesat sesuai dengan perkembangan perilaku manusia dalam berbagai latar kehidupan.
Kajian ahli-ahli psikologi membawa pengaruh terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama dalam menetapkan tujuan pengajaran, memahami peserta didik, pemilihan metode mengajar, pemilihan media belajar dan sumber belajar, dan penilaian.
Setelah membaca uraian di atas, maka dapat dinyatakan hal-hal yang menjadi latar belakang penulisan makalah dengan topik landasan teori psikologi ini, ialah:
a.      Pentingnya guru memahami ilmu psikologi karena psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang proses mental dan perilaku siswa yang merupakan manifestasi atau penjelmaan dari karakteristrik kepribadian siswa. Pemahaman guru terhadap karakteristik kepribadian siswa akan menjalin kedekatan guru dan siswa, yang akirnya memudahkan dalam pembelajaran.
b.      Pemahaman guru terhadap landasan psikologi ini merupakan salah satu kunci keberhasilan proses pembelajaran dalam meningkatkan mutu pendidikan peserta didik.
c.       Guru yang memahami psikologi akan membawa pengaruh terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama dalam menetapkan tujuan pengajaran, memahami peserta didik, pemilihan metode mengajar, pemilihan media dan sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
d.      Guru yang menguasai ilmu psikologi akan membuat kondisi siswa yang belajar  menyenangkan bagi siswa tersebut, Tetapi jika guru tidak memahami ilmu psikologi maka siswa kurang mendapatkan perhatian dari pendidik

2.      Rumusan Masalah.
a.       Landasan teori psikologi apa saja yang mempengaruhi ilmu teknologi pendidikan ?
b.      Mengapa teori psikologi sangat penting bagi guru dalam mempelajari ilmu teknologi pendidikan ?
c.       Bagaimana aplikasi Landasan Teori Psikologi Belajar yang dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran di kelas ?
d.      Menurut teori psikologi kapan siswa dikatakan siap untuk mengikuti pembelajaran di kelas ?

3.      Pembatasan Masalah.
a.       Tinjauan Landasan teori psikologi yang digunakan dalam penulisan makalah ini dibatasi pada empat faktor, yaitu : Teori Psikologi Perkembangan, Teori Psikologi Sosial, Teori Psikologi Belajar dan Teori Psikologi Individu.
b.      Pembahasan dan diskusi yang berlangsung tentang landasan psikologi ini tidak bersifat umum dan luas, namun dibatasi hanya hal-hal yang perlu diketahui oleh guru sehubungan dengan proses pembelajaran di kelas atau yang berhubungan dengan teknologi pembelajaran.

4.      Tujuan
a.       Memberikan pengetahuan kepada guru untuk memahami landasan teori psikologi yang mendasari dan mempengaruhi ilmu teknologi pendidikan.
b.      Memberikan pemahaman kepada pendidik terhadap faktor-faktor pendekatan yang digunakan dalam teori psikologi perkembangan.
c.       Guru mengetahui landasan teori dalam pembagian atau pengelompokan psikologi perkembangan siswa  berdasarkan umur.
d.      Guru mampu mempertimbangankan faktor-faktor teori psikologi yang mendukung dalam proses pembelajaran.
e.       Guru mengetahui kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas.
B.   Kajian Teori.
1.    Landasan Teori Psikologi Perkembangan.
Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah : (Nana Syaodih, 1988)
a.         Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain. Aplikasi teori pendekatan pentahapan ini  ialah pendidikan yang berjenjang seperti TK, SD, SMP, SMA dan PT.
b.         Pendekatan diferensial. Pendekatan ini memandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat kelompok-kelompok. Anak-anak yang memiliki kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, agama, status sosial ekonomi, dan sebagainya. Aplikasi teori ini dalam pendidikan ialah adanya jenjang pendidikan SMK (bakat dan minat), MAN (agama), Sekolah Putri (jenis kelamin.
c.         Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara individual. Aplikasi teori ini dalam pendidikan ialah adanya SLB.

Menurut Crijns periode atau tahap perkembangan manusia secara umum adalah sebagai berikut :
a.         Umur 0 – 2 tahun disebut masa bayi. Pada masa ini, si bayi sebagian besar memanfaatkan hidupnya untuk tidur, memandang, mendengarkan, kemudian belajar merangkak, dan berbicara.
b.         Umur 2 – 4 tahun disebut masa kanak-kanak. Pada masa ini anak sudah mulai bisa berjalan dan menyebutkan beberapa nama, pengamatan yang mula-mula global, kini sudah mulai bisa melihat struktur, mereka mengalami masa egosentris, sebab menurut anak ini semua orang dan benda-benda lain di sekelilingnya adalah untuk kepentingan dirinya. Masa kritis kemudian muncul ketika ia telah sadar bahwa bukan semua itu untuk dirinya, tetapi ia tetap tidak mengerti apa fungsi benda-benda dan orang-orang itu. Membuat anak ini bingung dan ragu-ragu.
c.         Umur 5 – 8 tahun disebut masa dongeng. Anak-anak pada masa ini mulai sadar akan dirinya  sebagai seseorang yang mempunyai kedudukan tersendiri seperti halnya dengan orang-orang lain. Mereka mulai bisa bermain bersama dan melakukan tindakan-tindakan yang konstuktif. Kesadaran akan lingkungan yang sesungguhnya mulai muncul. Namun objektvitas ini masih dipengaruhi oleh subjektivitasnya sendiri sehingga ia atau mereka suka pada dongeng-dongeng.
d.        Umur 9 – 13 tahun disebut masa Robinson Crusoe (nama seorang petualang). Dalam masa ini mulai berkembang pemikiran kritis, nafsu persaingan, minat-minat, dan bakat. Mereka ingin mengetahui segala sesuatu secara mendalam, suka bertanya, dan menyelidiki. Mereka memainkan peranan-peranan nyata seperti yang mereka lihat di masyarakat. Mereka suka menggoda, mengejek, dan sebagainya. Maka mereka dijuluki masa kejam.
e.         Umur 13 tahun disebut masa pubertas pendahuluan. Misalnya anak-anak ini mulai tertuju ke dalam dirinya sendiri, mereka mulai belajar bersolek, suka menyendiri melamun, dan segan olahraga. Mereka gelisah, cepat tersinggung, suka marah-marah, keras kepala, acuh tak acuh, dan senang bermusuhan. Terhadap jenis kelamin lain, mereka ingin sama-sama tahu, tetapi masih canggung.
f.          Umur 14 – 18 tahun disebut masa puber. Mereka mulai sadar akan pribadinya sebagai seorang yang bertanggung jawab. Mereka mulai tahu bahwa setiap orang punya arah dan jalan hidup sendiri-sendiri. Lalu mereka menemui nilai-nilai hidup itu, tetapi mereka juga cepat beralih ke nilai-nilai hidup yang lain. Ini merupakan periode pembentukan cita.
g.         Umur 19 – 21 tahun disebut masa adolesen. Anak-anak pada masa ini mulai menemui keseimbangan, mereka sudah punya rencana hidup tertentu dengan nilai-nilai yang sudah dipastikannya. Namun mereka belum berpengalaman, maka timbulah sikap radikal, ingin menolak, mencela, dan merombak hal-hal yang tidak disetujuinya dalam politik, agama, sosial, kesenian, dan sebagainya.
h.         Umur 21 tahun ke atas disebut masa dewasa. Pada masa ini remaja mulai insaf bahwa pekerjaan manusia tidak mudah dan selalu ada cacatnya. Mereka mulai berhait-hati.
Periode perkembangan tersebut di atas merupakan periode secara umum artinya ada saja perkembangan anak atau remaja yang menyimpang dari perkembangan umum itu. Semntara itu hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak perempuan rata-rata berkembang tiga tahun lebih cepat dari pada anak laki-laki. Hal inilah yang membuat seringkali dalam kenyataan sehari-hari anak-anak perempuan kelihatan lebih dewasa dari pada anak laki-laki yang sebaya.
Psikologi perkembangan menurut Rouseau membagi masa perkembangan anak atas empat tahap, yaitu :
a.         Masa bayi dari 0 – 2 tahun sebagian besar merupakan perkembangan fisik.
b.         Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup manusia primitive.
c.         Masa pubertas dari 12 -15 tahun, ditandai dengan perkembangan pikiran dan kemauan untuk berpetualang.
d.        Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, social, kata hati, dan moral. Remaja ini sudah mulai belajar berbudaya.

 Sementara itu Stanley Hall penganut teori Evolusi dan teori Rekapitulasi membagi masa perkembangan anak sebagai berikut : (Nana Syaodih, 1988)
a.         Masa kanak-kanak ialah umur 0 – 4 tahun sebagai masa kehidupan binatang.
b.         Masa anak ialah umur 4 – 8 tahun merupakan masa sebagai manusia pemburu.
c.         Masa muda ialah umur 8 – 12 tahun sebagai manusia belum berbudaya.
d.        Masa adolesen ialah umur 12 – dewasa merupakan manusia berbudaya.
Havinghurst menyusun fase-fase perkembangan sebagai berikut : (Mulyani, 1988)
a.         Tugas perkembangan masa kanak-kanak:
Belajar berkata, makan makanan padat, berjalan, mengendalikan gerakan badan, mempelajari peran jenis kelaminnya sendiri, stabilitas fisiologis, membentuk konsep sederhana tentang sosial dan fisik, belajar menghubungkan diri secara emosional dengan orang-orang lain, serta belajar membedakan yang benar dengan yang salah.
b.          Tugas perkembangan masa anak:
Belajar keterampilan fisik untuk keperluan bermain, membentuk sikap diri sendiri, belajar bermain secara rukun, mempelajari peran jenis kelamin sendiri, belajar keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, mengembangkan konsep-konsep yang dibutuhkan dalam kehidupan, membentuk kata hati, moral, dan nilai, membuat kebebasan diri, dan mengembangkan sikap terhadap kelompok serta lembaga-lembaga sosial.
c.         Tugas perkembangan masa remaja:
Membuat hubungan-hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya dan kedua jenis kelamin, memperoleh peran sosial yang cocok dengan jenis kelaminnya, menggunakan badan secara efektif, mendapat kebebasan diri dan ketergantungan pada orang lain, memilih dan menyiapkan jabatan, mendapatkan kebebasan ekonomi, mengadakan persiapan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, mengembangkan keterampilan dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga negara yang baik, mengembangkan perilaku bertanggung jawab, dan memperoleh seperangkat nilai serta etika sebagai pedoman berperilaku.
d.        Tugas perkembangan masa dewasa awal:
Memilih pasangan hidup, belajar hidup rukun bersuami istri, memulai kehidupan punya anak, mengendalikan rumah tangga, melaksanakan suatu jabatan atau pekerjaan, belajar bertanggung jawab sebagai warga negara, dan berupaya mendapatkan kelompok sosial yang tepat serta menarik. 
e.         Tugas perkembangan masa setengah baya:
Bertanggung jawab sosial dan menjadi warga negara yang baik, membangun dan mempertahankan standar ekonomi, membina anak remaja agar menjadi orang dewasa dan bertanggung jawab serta bahagia, mengisi waktu senggang dengan kegiatan-kegiatan tertentu, membina hubungan suami istri secara pribadi, menerima serta menyesuaikan diri dengan perubahan fisik diri sendiri, dan menyesuaikan diri dengan pertambahan umur.
f.           Tugas perkembangan orang tua:
Menyesuaikan diri dengan semakin menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri terhadap menurunnya pendapatan atau karena pensiun, menyesuaikan diri sebagai duda atau janda, menjalin hubungan dengan klub lanjut usia, memnuhi kewajiban sosial sebagai warga negara yang baik, dan membangun kehidupan fisik yang memuaskan.
Tugas-tugas yang harus dijalankan atau diselesaikan oleh setiap inividu sepanjang hidupnya seperti tertera di atas, memberikan kemudahan kepada para pendidik pada setiap jenjang dan tingkat pendidikan untuk :
a.         Menentukan arah pendidikan, mengarahkan profesi masa depan sesuai bakat dan minat, mengarahkan untuk mencapai jenjang pendidikan bagi peserta didik.
b.         Menentukan metode atau model belajar anak-anak agar mampu menyelesaikan tugas perkembangannya, memilih isi dan media pembelajaran yang sesuai.
c.         Menyiapkan mata pelajaran dan kurikulum yang tepat.
d.        Menyiapkan pengalaman belajar yang cocok dengan tugas perkembangan itu.

Tugas-tugas perkembangan itu tampaknya disiapkan untuk pendidikan seumur hidup. Terbukti dari adanya tugas perkembangan untuk masa setengah baya atau orang dewasa dan untuk masa tua. Dua macam tugas terakhir ini amat berguna bagi pendidikan luar sekolah, baik di rumah terhadap suami-istri dan orang yang sudah tua maupun di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masyarakat, seperti kursus-kursus, perkumpulan sosial, agama, persatuan orang lanjut usia dan sebagainya.
Konsep teori perkembangan oleh Jean Piaget yang menekankan tingkat-tingkat perkembangan khusus yaitu kognisi,. Menurut Piaget ada empat tingkat perkembangan kognisi, (Mulyani 1988, Nana syaodih, 1988, dan Callahan, 1983).
a.         Periode sensori-motor pada umur 0 – 2 tahun
Kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks. Reaksi intelektual hampir seluruhnya karena rangsangan langsung dari alat-alat indra. Punya kebiasaan memukul-mukul dan bermain-main dengan permainannya. Mulai dapat menyebutkan nama-nama objek tertentu.
b.         Periode pra-operasional pada umur 2 – 7 tahun
Perkembangan bahasa anak ini sangat pesat. Oleh karena itu anak pada usia ini lebih senang dengan dongeng dan mulai dapat memahami cerita bergambar. Peranan intuisi dalam memutuskan sesuatu masih besar, menyimpulkan hanya sebagian kecil yang diketahui. Analisis rasional belum berjalan.
c.         Periode operasi konkret pada umur 7 – 11 tahun
Mereka sudah bisa berpikir logis, sistematis, dan memecahkan masalah yang bersifat konkret. Mereka sudah mampu mengerjakan penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
d.         Periode operasi formal pada umur 11 – 15 tahun
Anak-anak ini sudah dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang konkret maupun yang abstrak. Dapat membentuk ide-ide dan masa depannya secara realistis.
Teori perkembangan Piaget ini bermanfaat bagi pendidikan dalam mengorganisasi materi pelajaran dan proses belajar teruama yang berkaitan dengan upaya mengembangkan kognisi anak-anak. Konsep ini ada pertaliannya dengan perkembangan kognisi menurut Bruner sebagai berikut, (Teori Soekamto, 1994).
a.         Tahap enaktif, anak melakukan ativitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan.
b.         Tahap ikonik, anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualisasi verbal.
c.         Tahap simbolik, anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Lawrence Kohlberg mengembangkan teori moral kognisi atas dasar teori Piaget. Menurut dia ada tiga tingkat perkembangan moral kognisi, yang masing-masing tingkat ada dua tahap sebagai berikut : (McNeil, 1977 dan Nana Syaodih, 1988).
a.         Tingkat Prekonvensional.
1)        Tahap orientasi kepatuhan dan hukuman, seperti kebaikan, keburukan, ditentukan oleh orang itu dihukum atau tidak.
2)        Tahap orientasi egois yang naïf, seperti tindakan yang betul ialah yang memuaskan kebutuhan seseorang.
b.         Tingkat Konvensional
1)        Tahap orientasi anak baik, seperti prilaku yang baik ialah bila disenangi orang lain.
2)        Tahap orientasi mempertahankan peraturan dan norma social, seperti prilaku yang baik ialah yang sesuai dengan harapan keluarga, kelompok, atau bangsa.
c.         Tingkat Post-Kvensional
1)        Tahap orientasi kontrak social yang legal, yaitu tindakan yang mengikuti standar masyarakat dan mengkonstruksi aturan baru.
2)        Tahap orientasi prisip etika universal, yaitu tindakan yang melatih kesadaran mengikuti keadilan dan kebenaran universal.

Dalam aspek afeksi, Erikson mencoba menyusun perkembangannya. Perkembangan afeksi terdiri atas delapan tahap sebagai berikut, (Mulyani, 1988):
a.         Bersahabat vs menolak pada umur 0 – 1 tahun.
Bayi yang diasuh dengan kasih saying dan kebutuhan-kebutuhan terpenuhi akan merasa bersahabat dengan orang-orang disekitarnya. Sebaliknya bila dia disia-siakan dan kebutuhannya tidak terenuhi, maka ia akan menentang lingkungan. Perasaan-perasaan seperti ini akan dibawa ke tingkat-tingkat perkembangan berikutnya.
b.         Otonomi vs malu dan ragu-ragu pada umur 1 – 3 tahun.
Anak merasa memiliki otonomi dan kebanggaan, sebab ia sudah bisa berjalan, memanjat, membuka, mendorong, dan sebagainya. Ia merasa dapat mengendalikan otot-ototnya, mengendalikan diri dan lingkungan. Tetapi bila orang tua terlalu memanjakan, timbul malu-malu dan keragu-raguan anak itu tentang kemampuannya. Dan hal ini pun akan berpengaruh pada tingkat-tingkat perkembangan berikutnya.
c.         Inisiatif vs perasaan bersalah pada umur 3 – 5 tahun.
Anak-anak pada masa ini banyak berinisiatif manakala diberi kesempatan oleh orang tuanya, mereka sudah punya kemampuan lebih besar, seperti lari, naik sepeda roda tiga, memukul, memotong, dan sebagainya.begitu pula dalam berbahasa dan berfantasi mereka berinisiatif sendiri. Orang tua perlu memberi kesempatan, kebebasan, dan menjawab segala pertanyaan. Kalau mereka tidak diperlakukan seperti itu mereka akan merasa guilted (bersalah).
d.        Perasaan produktif vs rendah diri pada umur 6 – 11 tahun.
Anak-anak ini cinta pada orang tua yang berlawanan jenis dan ada rasa persaingan dengan yang sama jenis kelamin. Mereka sudah bisa berpikir deduktif, bermain dengan peraturan-peraturannya, dan terdorong untuk mengerjakan sesuatau sampai berwujud nyata. Jika mereka dihargai dan diberi hadiah membuat peran produktif berkembang. Tetapi anak-anak yang bodoh cenderung punya perasaan rendah diri.
e.         Identitas diri vs kebingungan pada umur 12 – 18 tahun.
Para remaja ini sudah mulai dapat mengidentifikasi dirinya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau. Ia sudah mengerti sebagai remaja, sebagai teman sekolah, sebagai anggota pramuka, dan sebagainya. Perasaan dan keinginan-keinginan baru mulai tumbuh. Mereka juga sudah bisa berpikir jernih tentang hal-hal disekelilingnya.
f.           Intim dan mengisolasi diri pada umur 19 -25 tahun.
Orang-orang ini sudah bisa intim dalam suami istri dan mampu berbagi rasa pada orang lain. Keberhasilan ini tidak hanya bergantung pada perlakuan orang tua, melainkan juga pada temannya yang akan diajak bergaul. Dan bila tidak berhasil, ia akan mengisolasi diri.
g.         Generasi vs kesenangan pribadi pada umur 25 – 45 tahun.
Orang tua atau seumuran ini sudah mulai memikirkan generasi muda, masyarakat, dan dunia tempat generasi ini tinggal. Mereka memikirkan pendidikan, kesejahteraan, dan pekerjaan generasi ini. Bila tidak , orang tua ini hanya mengejar kesenangan pribadi saja.
h.         Integritas vs putus asa pada umur 45 tahun ke atas.  
Integritas muncul kalau orang tua ini dapat membawa diri secara memuaskan dalam pergaulan anak-cucunya. Bila tidak, maka orang ini akan berputus asa.
Seperti halnya dengan perkembangan kognisi, perkembangan afeksi ini pun memberi kemudahan kepada para pendidik dalam mengembangkan afeksi anak-anak, juga dalam mempengaruhi afeksi orang dewasa dan orang yang sudah tua, dengan cara mengikuti tahap-tahap tersebut. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan simpulan Baller dan Charles sebagai berikut, (Mulyani).
a.         anak yang berasal dari keluarga yang memberi layanan baik, akan bersikap ramah, luwes, bersahabat, dan mudah bergaul.
b.         anak yang dilahirkan dalam keluarga yang menolak kelahiran itu, kekerasan, lingkungan pemarah akan cenderung menimbulkan masalah, agresif, menentang orang tua, dan sulit diajak berbicara.
c.         anak yang diasuh oleh keluarga yang acuh tidak acuh kapada anak, cenderung bersikap pasif dan kurang populer di luar rumah.

Konsep perkembangan yang dibahas terakhir ini berasal dari Gagne, yang dapat disebut sebagai perkembangan kemampuan belajar. Perkembangan itu adalah sebagai berikut, (McNeil, 1977).
a.         Multideskriminasi, yaitu belajar membedakan stimulasi yang mirip, misalnya huruf b dengan d.
b.         Belajar konsep, yaitu belajar membuat respon sederhana, seperti huruf hidup, huruf mati, dan sebagainya.
c.         Belajar prinsip, yaitu mempelajari prinsip-prisip atau aturan-aturan konsep.
d.        Pemecahan masalah, yaitu belajar mengkombinasikan dua atau lebih prinsip untuk memperoleh sesuatu yang baru.

Pembahasan tentang psikologi perkembangan ini yang mencakup perkembangan umum, kognisi, moral, afeksi, dan kemampuan belajar atau dapat disingkat menjadi teori perkembangan umum, kognisi dan afeksi, memberi petunjuk yang sangat berharga bagi para pendidik dalam mengoperasikan pendidikannya. Karena itu, pendidik harus paham akan tahap-tahap perkembangan ini agar ia dapat membantu perkembangan anak-anak secara optimal pada segala jenjang dan tingkat sekolah.

2.    Landasan Teori Psikologi Belajar.
Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku.  Kedua, perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar.
Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku itu dipandang sebagai Proses belajar. Sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri dipandang  sebagai Hasil belajar. Hal ini berarti, belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu  proses belajar dan hasil belajar. Para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola-pola  tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim disebut dengan Teori Belajar.
Adapun  teori-teori belajar  adalah sebagai berikut : ( dalam sukarjo, 2009):
a.         Behaviorisme ( Tingkah Laku / Perilaku )
Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Teori behavioristik mengatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan diukur hanyalah stimulus dan respons.
Aplikasi teori behaviorisme biasanya meliputi beberapa langkah berikut ini :
1.        Menentukan tujuan-tujuan instruksional.
2.        Menganaiisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi "entry behavior" mahasiswa (pengetahuan awal mahasiswa).
3.        Menentukan materi pelajaran ( pokok bahasan, topik dan sebagainya ).
Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil (sub pokok bahasan, sub topik, dan sebagainya).
4.        Menyajikan materi pelajaran.
5.        Memberikan stimulus yang mungkin berupa : pertanyaan, tes,  latihan, dan tugas-tugas.
6.         Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan.
7.        Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negatif).
8.         Memberikan stimulus baru.
9.        Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan (mengevaluasi hasil belajar),
Memberikan penguatan.
Behaviorisme didasarkan pada perubahan tingkah laku yang dapat diamati. Oleh karena itu aliran ini berusaha mencoba menerangkan dalam pembelajaran bagaimana lingkungan berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Dalam aliran ini tingkah laku dalam belajar akan berubah kalau ada stimulus dan respon. Stimulus dapat berupa prilaku yang diberikan pada siswa, sedangkan respons berupa perubahan tingkah laku yang terjadi pada siswa ( dalam Sukarjo, 2009 :33). Jadi Berdasarkan Teori Behaviorisme Pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan.
Menurut Baharudin & Wahyuni (2008:87) bahwa aliran Behavioristik memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon. Implikasinya terhadap pendidikan adalah sebagai berikut :
1.        Perlakuan terhadap individu didasarkan kepada tugas yang harus dilakukan sesuai dengan tingkat tahapan dan dalam pelaksanaannya harus ada ganjaran dan kedisiplinan. 
2.        Motivasi belajar berasal dari luar (external) dan harus terus menerus dilakukan agar motivasi tetap terjaga.
3.        Metode belajar dijabarkan secara rinci untuk mengembangkan disiplin ilmu tertentu.
4.        Tujuan kurikuler berpusat pada pengetahuan dan keterampilan akademis serta tingkah laku sosial.
5.        Pengelolaan kelas berpusat pada guru dengan interaksi sosial sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu dan bukan merupakan tujuan utama yang hendak dicapai.
6.        Untuk mengefektifkan belajar maka dilakukan dengan cara menyusun program secara rinci dan bertingkat sesuai serta mengutamakan penguasaan bahan atau keterampilan.
7.        Peserta didik cenderung pasif.
8.        Kegiatan peserta didik diarahkan pada pemahiran keterampilan melalui pembiasaan setahap demi setahap demi setahap secara rinci.
b.         Kognitivisme ( Akal Pikiran / Otak )
Kerangka kerja atau dasar pemikiran dari teori pendidikan kognitivisme adalah dasarnya rasional. Teori ini memiliki asumsi filosofis yaitu the way in which we learn ( Pengetahuan seseorang diperoleh berdasarkan pemikiran ) inilah yang disebut dengan filosofi Rationalisme. Menurut aliran ini, kita belajar disebabkan oleh kemampuan kita dalam menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam lingkungan.
Teori Kognitivisme berusaha menjelaskan dalam belajar bagaimanah orang-orang berpikir. Oleh karena itu dalam aliran kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri.karena menurut teori ini bahwa belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks.
Jadi menurut teori kognitivisme pendidikan dihasilkan dari proses berpikir ( dalam Sukarjo, 2009 :50).
Implikasinya terhadap pendidikan adalah sebagai berikut : ( dalam Baharudin & Wahyuni, 2008)
1.        Perlakuan individu didasarkan pada tingkat perkembangan kognitif peserta didik.
2.        Motivasi berasal dari dalam diri individu (intrinsik) yang timbul berdasarkan pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik.
3.        Tujuan kurikuler difokuskan untuk mengembangkan keseluruhan kemampuan kognitif, bahasa, dan motorik dengan interaksi sosial berfungsi sebagai alat untuk mengembangkan kecerdasan.
4.        Bentuk pengelolaan kelas berpusat pada peserta didik dengan guru sebagai fasillitator.
5.        Mengefektifkan mengajar dengan cara mengutamakan program pendidikan yang berupa pengetahuan-pengetahuan terpadu secara hierarkis.
6.        Partisipasi peserta didik sangat dominan guna meningkatkan sisi kognitif peserta didik.
7.        Kegiatan belajar peserta didik mengutamakan belajar untuk memahami dengan cara insight learning.
8.        Tujuan umum dalam pendidikan adalah untuk mengembangkan sisi kognitif secara optimal dan kemampuan menggunakan kecerdasan secara bijaksana.
c.         Konstruktivisme
Menurut teori konstruktivisme yang menjadi dasar bahwa siswa memperoleh pengetahuan adalah karena keaktifan siswa itu sendiri. Konsep pembelajaran menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehinggah mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna .
Jadi dalam pandangan konstruktivisme sangat penting peranan siswa. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar ( dalam Sukarjo 2009 :56).
Menurut teori ini juga perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan pemikiran tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar. ( Novak dan Gowin,1984 ). Dengan itu ia bisa menjadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan. ( http: // mjescholl.multjay.com/ jurnal/item/36).
d.        Humanistik ( Bakat )
Teori ini pada dasarnya memiliki tujuan untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apabila sipembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain sipembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya .
Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Menurut aliran Humanistik para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini .Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi lebih baik dan belajar.
Secara singkat pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk mengembangkan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Keterampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik. Dalam teori humanistik belajar dianggap berhasil apabila pembelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.
Implikasinya terhadap pendidikan adalah sebagai berikut ( dalam Baharudin & Wahyuni, 2008 ) :
1.        Perlakuan terhadap individu didasarkan akan kebutuhan individual dan kepribadian peserta didik.
2.        Motivasi belajar berasal dari dalam diri (intrinsik) karena adanya keinginan untuk mengetahui.
3.        Metode belajar menggunakan metode pendekatan terpadu dengan menekankan kepada ilmu-ilmu sosial.
4.        Tujuan kurikuler mengutamakan pada perkembangan dari segi sosial, keterampilan berkomunikasi, dan kemampuan untuk peka terhadap kebutuhan individu dan orang lain
5.        Bentuk pengelolaan kelas berpusat pada peserta didik yang mempunyai kebebasan memilih dan guru hanya berperan untuk membantu.
6.        Untuk mengefektifkan mengajar maka pengajaran disusun dalam bentuk topik-topik terpadu berdasarkan pada kebutuhan peserta didik
7.        Partisipasi peserta didik sangat dominan
8.        Kegiatan belajar peserta didik mengutamakan belajar melalui pemahaman dan pengertian bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan
Dengan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa kedudukan teori belajar dijadikan sumber inspirasi di dalam pengembangan model pembelajaran, terutama di dalam penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, karakteristik peserta didik, kondisi-kondisi pembelajaran yang harus dirancang, beserta berbagai fasilitas belajar yang dapat memperkuat pengalaman belajar peserta didik.
Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, para ahli berusaha untuk meningkatkan mengajar itu menjadi suatu ilmu atau science. Dengan metode mengajar yang ilmiah, diharapkan proses belajar mengajar itu lebih terjamin keberhasilannya. Inilah yang sedang diusahakan oleh teknologi pendidikan. Sebuah obsesi bahwa pada suatu saat, mengajar atau mendidik itu menjadi suatu teknologi yang dapat dikenal dan dikuasai langkah-langkahnya (Prawiradilaga, 2008). Teknologi pendidikan memberikan pendekatan yang sistematis dan kritis tentang proses belajar mengajar. Dalam pengembangan teknologi pendidikan diperlukan teori psikologi ( psikologi pendidikan dan psikologi belajar). Karena subjek dari teknologi pendidikan adalah manusia ( peserta didik ).  Berikut aplikasi teori psikologi pendidikan dan psikologi belajar dalam teknologi pendidikan , yaitu:
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan teknologi pendidikan. Oleh sebab itu, dalam pengembangan teknologi pendidikan yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam proses pengembangan teknologi pendidikan. Perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru sebagai pendidik harus mengupayakan cara / metode yang lebih baik untuk melaksanakan proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan psikologi belajar
Selain itu aplikasi  psikologi pendidikan dalam teknologi pendidikan adalah yang menyangkut dengan aspek-aspek perilaku dalam ruang lingkup belajar mengajar. Secara psikologis, manusia adalah mahluk individual namun juga sebagai makhluk social dengan kata lain manusia itu sebagai makhluk yang unik. Maka dari itu kajian teori dalam psikologi dalam Teknologi pendidikan seharusnya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaan serta karakteristik-karakteristik individu lainnya.  Dan strategi belajar seperti itu terdapat dalam kajian ilmu Teknologi Pendidikan.
Jadi dapat disimpulkan  bahwa pengaplikasian teori psikologi ( baik psikologi pendidikan maupun psikologi belajar )  terhadap teknologi pendidikan sangat erat karena dalam membuat strategi belajar dan untuk mengetahui tehnik belajar yang baik maka terlabih dahulu kita sebagai guru  harus mengerti ilmu jiwa.
3.    Landasan Teori Psikologi Sosial.
Psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antar indivudu (Hollander, 1981). Dengan demikian, psikologi ini akan mencoba melihat keterkaitan masyarakat dengan kondisi psikologi kehidupan individu.
Kecenderungan manusia untuk bersahabat sudah dimulai sejak permulaan dia hidup yaitu sejak masih bayi. Hampir semua bayi merespons secara positif terhadap satu atau lebih orang dewasa. Lebih lanjut hampir semua orang tua sayang terhadap anak-anaknya, mereka selalu ingin dekat dengan anak-anaknya. Karena itu anak-anak juga semakin dekat dengan orang tuanya. Inilah yang membuat terjadinya persahabatan atau keakraban.
Berkembangnya kasih sayang ini disebabkan oleh dua hal yaitu, (Freedman, 1981).
a.         Karena pembawaan atau genetika. Pembawaan kasih sayang ini sebagai perangkat yang penting untuk mempertahankan hidup sang bayi.
b.         Karena belajar. Mereka belajar semua aturan berprilaku. Anak-anak cinta pada orang tua, sebab orang tua memberi makan, memberi kehangatan. Sebaliknya orang tua cinta pada anak sebab anak memberi kebahagiaan orang tua.
Sejumlah konsep psikologi sosial yang lain akan dibahas pada bagian-bagian berikut, yang sebagian besar diambil dari tulisan Freedman (1981). Kini, akan dibahas konsep pembentukan kesan. Ada kecenderungan umum bahwa orang-orang membentuk kesan tentang orang lain dalam pertemuan sekejap saja. Melihat orang atau gambarannya, seseorang cenderung membuat keputusan tentang sejumlah karakteristik orang bersangkutan. Dia menafsirkan inteligensi, umur, latar belakang, ras, agama, tingkat pendidikan, kejujuran, kehangatan, dan sebagainya. Dia juga kadang-kadang menyatakan perasaan senang atau tidak senang kepada orang lain.
Pembentukan kesan pertama terhadap orang lain memiliki tiga kunci utama, yaitu:
a.         Kepribadian orang itu. Mungkin kita pernah mendengar tentang orang itu sebelumnya, atau cerita-cerita yang mirip dengan orang itu, terutama tentang kepribadiannya.
b.         Perilaku orang itu. Ketika melihat prilaku orang itu setelah berhadapan, maka kita hubungkan cerita-cerita yang pernah didengar.
c.         Latar belakang situasi. Kedua data di atas kemudian dikaitkan dengan situasi pada waktu itu. Mak dari kombinasi kombinasi ketiga data ini akan keluarlah kesan pertama tentang orang itu.

Perlu diketahui bahwa kesan pertama ini belum tentu benar. Bila kesan pertama ini salah, setelah melihat penampilannya pada beberapa hari berikutnya, dapat meembuat pemberi kesan tadi kecewa, terutama kalau penampilannya lebih jelek dari pada kesan pertama.
Dalam dunia pendidikan, hal ini perlu diperhatikan. Para pendidik harus mampu membangkitkan kesan pertama yang positif dan tetap positif untuk hari-hari berikutnya. Sikap dan prilaku peendidik seperti ini sangat penting artinya bagi kemauan dan semangat belajar anak-anak.
Kini, mari kita teruskan dengan pembahasan persepsi diri sendiri (Freedman, 1981) Orang-orang dalam mencapai persepsi tentang dirinya sendiri adalah sama caranya dalam menemukan atau melihat persepsi orang lain. Hal ini lahir dari asumsi umum yang mengatakan bahwa emosi kita, sikap, sifat, dan kemampuan kita sering tidak jelas dan ambigu bagi diri kita sendiri. Dengan demikian kita harus menyimpulkan bahwa persepsi diri sendiri bersumber dari perilaku kita yang overt dan persepsi kita terhadap lingkungan.
Persepsi diri sendiri berkaitan dengan sikap dan perasaan, sikap adalah keadaan internal individu yang mempengaruhi tindakannya terhadap objek, orang, atau kejadian (Gagne, 1979). Sikap dapat ditimbulkan, di samping sering muncul secara alami, yaitu :
a.         Dengan metode langsung seperti pengkondisian dan penguatan, manakala ia sukses dalam kegiatan tertentu, maka ia akan bersikap positif terhadap kegiatan itu.
b.         Dengan metode tidak langsung seperti dengan melihat dan mempelajari sikap tokoh tertentu, misalnya dalam buku bacaan, televise, atau melihat langsung.
Metode kedua ini sangat penting dilaksanakan oleh pendidik, sangat mudah dan etika pendidik mewajibkan hal itu, yaitu dengan membuat diri pendidk itu sendiri menjadi tokoh yang patut ditiru. Konsep pendidikan mengatakan bahwa mendidk adalah dengan diri pendidik itu sendiri, sangat berlaku dalam pengembangan sikap ini. Selain itu kenyataan menunjukkan ahwa para siswa pada umumnya sangat percaya kepada petunjuk dan nasihat pendidik disekolah. Hal ini berpengaruh terhadap identifikasi atau imitasi siswa terhadap perilaku pendidiknya.
Sementara itu secara tradisi perasaan itu bersumber dari kondisi fisik, mental, dan sebab-sebab dari diri luar diri manusia.dan belakangan ini dikatakan bahwa perasaan itu di samping bersumber dari keadaan fisik, juga tersedia label-label kognisi seperti marah, bahagia, dan sebagainya. Sebab label-label ini bertalian dengan bagaimana kita memandang situasi lingkungan dan bagaimana kita berperilaku yang kemudian menampilkan perasaan kita. Dari sini tampak bahwa macam perasaan yang timbul juga banyak bergantung pada lingkungan.
Sikap dan perasaan yang keduanya banyak bertalian dengan lingkungan, mempengaruhi konsep diri seseorang. Sikap dan perasaan hormat terhadap guru akan menimbulkan konsep diri menyerupai penampilan guru. Anak yang pandai matematika merasa dirinya punya bakat matematika seperti gurunya, anak yang pandai melukismerasa dirinya kelak seperti guru lukis itu. Oleh sebab itu, pendidk perlu memperhatikan proses pendidikan agar dapat memunculkan konsep diri yang positif.
Motivasi juga merupakan salah satu aspek psikologi social, sebab tanpa motivasi tertentu seseorang sulit untuk berpartisipasi di masyarakat. Sehubungan dengan ini, pendidik punya kewajiban untuk menggali motivasi anak-anak agar mulcul sehingga mereka dengan senang hati belajar di sekolah. Menurut Klinger (Savage, 1991) faktor-faktor yang menentukan motivasi adalah:
a.         Minat dan kebutuhan individu. Bila minat dan kebutuhan jasmani, rohani, dan social anak-anak dipenuhi maka motivasi belajarnya akan muncul.
b.         Persepsi kesulitan akan tugas-tugas. Bila anak-anak memandang kesulitan pelajaran itu tidak terlalu berat, melainkan cukup menantang, maka motivasi belajar mereka pun akan muncul. Bertalian dengan ini pendidik perlu mengoreksi materi pelajaran setiap kali akan mengajar agar kesulitan-kesulitannya tidak menguras pikiran anak.
c.         Harapan sukses. Harapan ini pada umumnya muncul karena anak itu sering sukses. Agar anak-anak bodoh juga punya kesempatan seperti ini, ada baiknya kalau memberi pelajaran dibuat bertingkat dan model evaluasi bersifat individual. Dengan cara ini semua anak dalam kelas akan mempunyai motivasi yang positif untuk belajar. Metode seperti ini telah dilakukan di SD Victoria Australia (Made Pidarta, 1996).

Robbin menyebutkan teori-teori kebutuhan yang Berhierarki, teori X dan Y, teori Tiga Kebutuhan, teori Dua Faktor, dan teori Harapan. Kelima teori ini dapat dilakukan dalam pendidikan tetapi yang paling mudah dilaksanakan adalah teori Tiga Kebutuhan, yaitu kebutuhan berprestasi, kebutuhan bersahabat, dan kebutuhan berkuasa.
Altman dan Taylor (Freedman, 1981) mengembangkan teori keintiman yang ia namakan penetrasi sosial, bahwa terjadi perilaku antar pribadi yang diikuti oleh perasaan subjektif. Penetrasi ini mencakup sejumlah kehidupan pribadi dan kepribadian serta bersifat intim. Hubungan intim ini terjadi pada kasus-kasus tertentu seperti saling mentraktir, tentang ide yang sama, kecemasan yang sama, dan sebagainya.
Dalam pembimingan terhadap anak-anak yang lemah baik oleh guru maupun oleh siswa yang pandai membutuhkan suatu keintiman, juga dalam proses konseling butuh keakraban antara konselor dengan kliennya. Dalam keluarga juga perlu ada hubungan yang intim antara orang tua dengan anak-anak dan atara anak-anak itu sendiri agar proses pendidikan bisa berjalan dengan baik.
Perilaku yang bertentang dengan huungan intim adalah perilaku agresif. Yang dimaksud dengan agresif adalah perilakuyang menyakiti orang lain atau yang dapat menyakiti orang lain. Ada tiga kategori agresif yaitu: (Freedman, 1981).
a.         Agresif anti sosial. Misalnya perilaku yang suka menampar orang, memaksakan kehendak, memaki-maki, dan sebagainya.
b.         Agresif pro sosial, misalnya perilaku memukul pencuri yang sedang mencuri, menembak teroris, menyekap preman, dan sebagainya.
c.         Agresif sanksi, misalnya wanita menampar karena badannya diraba laki-laki, tuan rumah menembak pencuri yang menjarah rumahnya, wanita memaki-maki orang yang memfitnahnya, dan sebagainya.

Jadi perilaku agresif mana yang akan muncul pada seseorang bergantung kepada watak seseorang dan situasi yang dihadapi. Walaupun watak itu sulit diubah, namun melalui pendidikan yang kontinu, agresif itu dapat ditipiskan. Pendidikan perlu memperhatikan agar agresif jenis pertama tidak berkembang.
Ada tiga fakktor utama yang menyebabkan perilaku agresif. Faktor-faktor yang dimaksud adalah:
a.         Watak berkelahi. Orang yang merasa lapar, kehausan, bernafsu seksual cenderung berperilaku agresif. Di sini insting berkelahi merealisasi diri dalam wujud agresif.
b.         Gangguan atau serangan dari pihak lain membuat orang menjadi marah dan agresif. Misalnya sedang asik menonton film yang bagus ada telepon berdering.
c.         Putus asa atau tidak mampu mencapai suatu tujuan cenderung membuat orang agresif. Pemain bola yang hamper memasukkan bola tetapi gagal, akan memukul-mukul tangannya ke tanah.
Cara untuk mengurangi agresif antara lain :
a.         Dengan katarsis yaitu penyaluran ketegangan psikis kearah aktivitas-aktivitas seperti membuat boneka, ikut pertandingan, olahraga, dan sebagainya
b.         Dengan belajar secara perlahan-lahan menyadarkan diri bahwa agresif itu tidak baik.
Selanjutnya akan dibahas tentang altruisme atau kasih sayang. Perilaku ini berbentuk memberi pertolongan kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan. Kasih sayang seperti ini lebih bersifat insting daripada hasil belajar baik di dalam binatang maupun di kalangan manusia. Altruisme ini memang dimiliki oleh para orang tua pada umumnya, terutama ibu-ibu. Hal ini sangat penting artinya dalam mendidik anak-anak di rumah. Para pendidik yang lain pun di lembaga-lembaga pendidikan diharapkan memiliki kasih sayang seperti ini terhadap anak-anak. Mereka perlu belajar dan menanamkan kasih sayang itu dalam dirinya untuk disebarkan dalam proses pendidikan. Inilah yang disebut mengabdi kepada sang anak dalam pendidikan.
Kesepakatan atau keutuhan adalah juga merupakan factor penting dalam proses pendidikan. Tanpa ada kesepakatan cukup sulit merencanakan dan melaksanakan sesuatu, lebih-lebih dalam bekerja kelompok. Ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya kesepakatan, yaitu:
a.         Penjelasan tentang pentingnya persatuan dan kesatuan.
b.         Perasaan takut akan disisihkan oleh teman-teman.
c.         Keintiman anggota-anggota kelompok.
d.        Besarnya kelompok, ialah kelompok yang tidak terlalu besar.
e.         Tingkat keahlian anggota kelompok, makin ahli dan makin homogen makin mudah mendapat kesempatan.
f.          Kepercayaan diri masing-masing anggota. Semakin tinggi kepercayaan terhadap kemampuan mereka untuk memdapatkan kesepakatan, semakin cepat pula kesempatan itu tercapai.
g.         Keakraban dan perbauran anggota-anggota kelompok. Maikn mudah mereka berbaur, makin mudah pula mendapatkan kesempatan.
h.         Komitmen masing-masing anggota kelompok terhadap kewajiban-kewajiban dalam kelompok.
Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab kesepakatan ini, seharusnya pendidik lebih mudah menciptakan kesepakatan baik dalam kelompok siswa maupun dalam kelompok pendidik, dalam rangka memajukan pendidikan anak-anak. Begitru pula halnya dengan lembaga-lembaga pendidikan seperti di sekolah maupun diperguruan tinggi. Kesepakatan tentang prinsip dan model pendidikan yang dilaksanakan di sekolah akan memperlancar proses belajar itu sendiri. Jadi, kesepakatan para personalia pendiikan sangat mendukung kelancaran pendidikan itu.
Lebih lanjut pendidikan tidak boleh mengesampingkan kemungkinan adanya pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku seseorang. Peranan laki-laki yang berbeda dengan perempuan terutama didasari oleh perbedaan fisik dan tugas-tugas kodrati mereka. Perempuan harus hamil, memelihara anak, menyusui,dan membesarkannya. Sementara itu, laki-laki harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarga walaupun belakangan ini perempuan juga ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan itu. Peranan-peranan sepaerti ini sudah dibina sejak awal dalam keluarga.
Penelitian menunjukkan laki-laki dan perempuan tidak berbeda dalam kemampuan intelek secara umum. Mereka tidak berbeda dalam inteligensi, kemampuan belajar, kreativitas, dan pemecahan masalah. Tetapi dalam bahasa perempuan lebih baik dari pada laki-laki, sebaliknya laki-laki lebih baik dalam kemampuan kuantitatif dan ruang. Dalam berprilaku sosial, secara kodrati tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Perbedaan perilaku sosial ini terjadi karena proses perkembangan mereka berbeda. Anak laki-laki cenderung meniru bapaknya dan anak perempuan meniru ibunya. Sehingga terjadilah peredaan perilaku sosial. Anak laki-laki menjadi lebih kuat, agresif, perasa dan berambisi, sedangkan anak perempuan lebih sensitif, perasa dan sosial.
Menyadari akan perbedaan kemampuan dan sifat-sifat antara anak laki-laki dengan perempuan, pendidik dalam membina anak-anak harus dapat mengatur strategi dan metode belajar mengajar agar sesuai dengan kemampuan dan sifat-sifat kedua jenis kelamin ini. Pendidik tidak oleh memaksa anak laki-laki agar sepandai atau melebihi kepandaian anak perempuandalam pelajaran bahasa. Sealiknya jagan memaksa anak peremuan agar bisa mengalahkan anak laki-laki dalam bidang matematika. Pendidik tidak perlu terlalu marah kepada anak laki-laki yang agresif atau kepada anak perempuan yang mudah tersinggung sebab meang demikianlah sifat alamiah mereka.
Sekarang mari kita bicarakan tentang kepemimpinan. Hampir semua kelompok memiliki pemimpin. Pemimpin yang disahkan lebih banyak mempunyai pengaruh dan kekuasaan dari pada pemimpin yang muncul begitu saja. Kemampuan berbicara memang peranan penting untuk bisa menjadi pemimpin. Di samping itu kepribadian juga merupakan faktor penentu dalam menduduki jabatan pemimpin, seperti kemampuan berbicara, kedudukan sosial, dan tidak banyak menyimpang dari cita-cita kelompok.
Kepemimpinan juga dibutuhkan dalam pendidikan, baik dikalangan para pendidik, dikalangan anak-anak, maupun dalam proses pendidikan itu sendiri. Sebab tanpa kepemimpinan yang baik, segala kegiatan pendidikan tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan lancar. Dapat dipahami baik burukya proses belajar, banyak ditentukan oleh kualitas pemimpinnya. Disini juga terkandung makna tugas guru untuk membina anak-anak agar menjadi pemimpin-pemimpin yang baik.
Sesudah mempelajari konsep-konsep penting tentang psikologi sosial, ada baiknya kita sarikan dulu, sebelum dilanjutkan dengan topin lain.
a.         Pembentukan kesan pertama ditentukan oleh:
1)            Kepribadian orang yang diamati.
2)            Perilaku orang tersebut.
b.         Latar belakang situasi waktu mengamati.
c.         Persepsi diri sendiri bersumber dari perilaku kita yang overt dan persepsi kita terhadap lingkungan, serta banyak dipengaruhi oleh sikap dan perasaan.
d.        Sikap muncul bisa secara alami dan dapat juga dengan pengondisian serta dengan mempelajari sikap para tokoh.
e.         Motivasi ditentukan oleh faktor-faktor:
1)            Minat dan kebutuhan individu.
2)            Persepsi terhadap tugas yang menantang.
3)            Harapan sukses.
f.          Keintiman hubungan yang disebut penetrasi sosial akan terjadi manakala perilaku antarpribadi diikuti oleh perasaan subjektif.
g.         Perilaku agresif disebabkan oleh:
1)            Watak berkelahi.
2)            Gangguan dari pihak lain.
3)            Putus asa.
Jenis-jenis perilaku agresif adalah:
1)            Agresif anti sosial, seperti memaki-maki.
2)            Agresif prososial, seperti menembak teroris.
3)            Agresif  sanksi, seperti menampar orang yang melecehkannya.
h.         Altruisme adalah hasil kasih sayang yang tidak mengharapkan balasan.
i.           Kesepakatan atau kepatuhan mempermudah proses pembinaan dalam suatu kelompok.
j.           Ada sejumlah perbedaan kemampuan dan sifat antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Perbedaan ini di samping bersifat alami, juga karena pengalaman dan pendidikan.
k.         Peranan pemimpin cukup menentukan keberhasilan tugas-tugas kelompok.

4.    Landasan Teori Psikologi Individu.
Kesiapan belajar secara umum adalah kemampuan seseorang untuk memdapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan. Semntara itu kesiapan kognisi bertalian dengan pengetahuan, pikiran, dan kualitas berpikir seseorang dalam menghadapi situasi belajar yang baru. Kemampuan-kemampuan ini bergantung pada tingkat kematangan intelektual. Latar belakang pengalaman, dan cara-cara pengetahuan sebelumnya distruktur (Connell, 1974).
Contoh kematangan intelektual antara lain adalah tingkat-tingkat pengembangan kognisi Piaget yang telah diuraikan pada bagian psikologi perkembangan. Berkaitan dengan latar belakang pengalaman tersebut di atas, Ausubel mengatakan faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang diketahui oleh anak-anak. Sedangkan perihal menstruktur kognisi dalam banyak kasus para siswa dapat mentruktur kembali pengetahuannya untuk menyesuaikan dengan materi-materi baruyang diterima dari pendidik. Akan tetapi pada kasus-kasus yang lain, struktur kognisi itu dipegang erat-erat sehingga membuat pendidik mencari pendekatan lain, agar anak-anak dapat menangkap materi pelajaran baru itu.
Bagaimana dengan kesiapan afeksi? Connell (1974) menulis bahwa sejumlah hasil penelitian mengatakan motivasi atau kesiapan afeksi belajar di kelas bergantung kepada kekuatan motif atau kebutuhan berprestasi, orientasi motivasi itu sendiri, dan factor-faktor situaional yang mungkin dapat membangun motivasi. Ciri-ciri motivasi yang mendorong untuk berprestasi adalah mengejar kompetensi, usaha mengaktualisasi diri, dan usaha berprestasi. Hal ini dikenal dengan istilah kebutuhan untuk berprestasi, salah satu kebutuhan dalam teori motivasi McClelland.
Pendekatan yang lain yang dapat dilakukan dalam mengembangkan potensi motivasi adalah dengan program intervensi selama anak duduk di TK dan kelas-kelas awal di SD. Intervensi ini bisa dalam bentuk:
a.    Memperbanyak ragam fasilitas di TK.
b.    Memberi kesempatan keapda orang tua untuk menyaksikan interaksi yang efektif di TK dan SD. Pola interaksi ini adalah:
1)        Memberi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan.
2)        Membuat kegiatan-kegiatan berprestasi berhasil.
3)        Menciptakan tujuan-tujuan yang menantang, tidak terlalu gampang dan tidak terlalu sukar.
4)        Memberi keyakinan untuk sukses serta menghargai kemampuan-kemampuannya.
5)        Membuat sertai anak tertarik dan gemar belajar. Kesaksian orang tua ini bisa menamah semangat anak-anak belajar menyelesaikan tugas-tugas mereka.

Bagi pendidik di sekolah, baik intervensi pada umur-umur muda maupun yang melayani motivasi berprestasi pada anak-anak yang lebih tua dilakukan setiap saat. Sebab motivasi ini merupakan modal pertama bagi anak-anak untuk gemar belajar.
Di samping metode tersebut diatas, masih ada cara untuk membangun motivasi. Cara-cara yang dimaksud adalah :
a.         Memberi kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dituntut,
1)        Kebutuhan fisik.
2)        Kebutuhan diterima oleh kelompok.
3)        Kebutuhan mengembangkan konsep diri.
b.         Memberikan tugas yang menantang.
c.         Mengembangkan kesadaran kontrol dari dalam. Nak-anak yang memounyai keyakinan kuat bahwa ia dapat mengontrol diri sendiri tampak lebih gigih berusaha, mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki lingkungan, menghargai penguatan prestasi baik dalam kesuksesan maupun dalam kegagalan, dan menolak upaya-upaya orang untuk mempengaruhi dirinya.

Dalam proses pendidikan peserta didik atau warga belajarlah yang memegang peranan utama. Sebab mereka adalah individu yang hidup dan mampu berkembang sendiri. Pendidikan harus memperlakukan dan melayani perkembangan mereka secara wajar.
Karena peserta didik atau warga belajar sebagai individu, maka ada pula orang menyebutnya sebagai subjek didik. Disini terkandung makna bahwa mereka merupakan subjek yang mempunyai pendirian sendiri, aspirasi sendiri, kemampuan sendiri, dan sebagainya. Mereka mampu melakukan kegiatan sendiri untuk mengembangkan dirinya masing-masing dengan menggunakan perlengkapan-perlengkapan yang mereka miliki. Dengan demikian tidak dapat dibenarkan bila pendidik memandang mereka sebagai objek yang dapat diperlakukan semaunya oleh para pandidik.
Perlengkapan peserta didik atau warga belajar sebagai sbjek dalam garis besarnya dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
a.         Watak, ialah sifat-sifat yang dibawa sejak lahir yang hamper tidak dapat diubah, misalnya watak pemarah, pendiam, menyendiri, suka berbicara, cinta kasih dan sebagainya.
b.         Kemampuan umum atau IQ ialah kecerdasan yang bersifat umum. Kemampuan ini dapat dijadikan ramalan tentang keberhasilan seseorang menyelesaikan suatu pekerjaan atau tingkat pendidikan tang dijalani.
c.         Kemampuan khusus atau bakat, ialah kemampuan tertentu yang dibawa sejak lahir. Kemampuan ini pada umumnya memberi arah kepada cita-cita seseorang terutama bila bakatnya terlayani dalam pendidikan.
d.        Kepribadian, ialah penampilan seseorang secara umum, seperti sikap, besarnya motivasi, kuatnya kemauan, tabahnya menghadapi rintangan, penghhargaannya terhadap orang lain, kesopanannya, toleransinya, dan sebagainya. Kepribadian bersumber dan watak, kemampuan umum dan khusus, pengaruh lingkungan,dan proses belajar, serta pengaruh latar belakang kehidupan.
e.         latar belakang, ialah lingkungan tempat dibesarkan terutama lingkungan keluarga. Lingkungan ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa bayi dan kanak-kanak.

Sesudah mengetahui kelima perlengkapan subjek didik, maka dapat dibayangkan betapa banyaknya macam subjek yang harus dihadapi oleh pendidik. Perlu diketahui bahwa hampir tidak ada manusia yang mempunyai watak yang sama, begitu pula dengan kemampuan umum dan khusus tidak ada persis sama, beberapa diantara mereka ada yang dibina dalam pendidikan khusus adalah karena ada kesamaan saja. Begitu pula halnya dengan kepribadian dan latar belakang juga tidak ada yang persis sama antara manusia yang satu dengan yang lain. Dengan demikian, sekali lagi dapat dinyatakan bahwa pendidikan akan menghadapi banyak sekali ragam subjek, yang hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada yang persis sama satu dengan yang lain. Itulah sebabnya dalam pendidikan sering disebut bahwa subjek didik adalah unik.
Walaupun setiap individu dikatakan unik, namun aspek-aspek individu mereka adalah sama, sebab aspek-aspek ini dikembangkan sendiri oleh para ahli. Pendapat mereka tentang struktur jiwa manusia pada umumnya ada kesamaan satu dengan yang lain. Mereka membagi jiwa itu menjadi tiga fungsi yaitu afeksi, kognisi, dan psikomotor. Namun ada juga yang membagi afeksi menjadi dua yaitu perasaan dan kemauan, sehingga dapat empat fungsi jiwa yaitu perasaan, kamauan, pikiran, dan keterampilan.
Dalam kaitannya dengan tugas pendidikan terhadap usaha membina peserta didik, terutama di Indonesia yang menginginkan perkembangan total ada baiknya perlu mempertimbangkan segijasmani yang dikembangkan atau ditumbuhkan. Dengan demikian fungsi jiwa dan tubuh atau aspek-aspek individu yang akan dikembangkan adalah sebagai berikut:
a.         Rohani, yang terdiri atas : Agamis, Perasaan, Kemauan, Pikiran, Social, Kemasyarakatan, Cinta tanah air, dan lainnya.
b.         Jasmani, yang terdiri atas : Keterampilan,  Kesehatan, Keindahan tubuh, dan lainnya.
Dari kesembilan aspek individu tersebut, ada beberapa yang perlu diberi penjelasan. Antara lain adalah aspek keagamaan. Dalam kepustakaan, terutama kepustakaan Barat, aspek ini jarang ditemukan dalam pembahasan tentang pendidikan di sekolah atau diperguruan tinggi. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh sifat pendidikan Barat itu sendiri yang kebanyakan bersifat sekuler. Mereka tidak mau memasukkan aspek agama dalam proses belajar mengajat di lembaga-lembaga pendidikan. Mereka memandang agama adalah urusan pribadi masing-masing, jadi tidak perlu dicampurkan dengan proses belajar di lembaga pendidikan. Sebaliknya, di Indonesia aspek agama adalah merupakan hal yang sangat penting sehingga harus ditangani oleh lembaga pendidikan. Agar lebih efektif. Selanjutnya mengapa aspek agam dibuat tersendiri, hal ini disebabkan aspek itu berkaitan dengan perilaku individu bertalian dengan wahyu yang diturunkan Tuhan Yang Maha Esa, yang ada pada aspek-aspek lain tidak ditemukan.
Aspek lain yang perlu juga dijelaskan adalah aspek kemasyarakatan dan cinta tanah air. Kedua aspek memiliki kesamaan, yaitu sama-sama merupakan sikap sosial. Bedanya ialah kemasyarakatan hanya mencakup masyarakat yang relatif dekat dengan individu bersangkutan yaitu tempat ia mengadakan komunikasi, sedangkan cinta tanah air besrsifat luas, yaitu mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kedua aspek ini dipandang perlu dikembangkan mengingat seringnya terjadi kerusuhan-kerusuhan baik dalam negeri sendiri maupun diluar negeri yang bersumber dari lemahnya sikap sosial dan kuatnya individualisme.
Kesembilan aspek tersebut di atas semula merupakan potensi-potensi belaka. Sejalan dengan perkembangan anak, potensi-potensi itu semakin berwujud. Wujud-wujud itu tidak selalu sama dalam diri setiap individu maupun antarindividu. Dengan bantuan pendidikan diharapkan aspek-aspek pada individu itu dapat berkembang dan berbentuk sebagaimana mestinya secara wajar.
Menurut konsep pendidikan di Indonesia, individu manusia harus berkembang secara total membentuk manusia berkembang seutuhnya dan diwarnai oleh sila-sila Pancasila. Yang disebut berkembang total atau seutuhnya ialah perkembangan individu yang memenuhi ketiga kriteria berikut:
a.         Semua potensi berkembang secara proporsional, berimbang dan harmonis. Artinya pelayanan terhadap potensi-potensi itu tidak pilih kasih dan disesuaikan dengan tingkat potensinya masing-masing. Bila potensi cinta tanah air 10 misalnya, dan tingkat potensi pikiran 5, maka pelayanan terhadap kedua potensi itu adalah 10 berbanding 5. demikian pula dengan tingkat-tingkat potensi lainnya.
b.         Berkembang secara optimal, artinya potensi-potensi yang dikembangkan diusahakan setinggi mungkin sesuai dengan kemampuan daya dukung pendidikan, seperti sarana media, metode, lingkungan belajar dan sebagainya
c.         Berkembang secara integratif, ialah perkembangan semua potensi atau aspek itu saling berkaitan satu dengan yang lain dan saling menunjang menuju suatu kesatuan yang bulat. Arah dan wujud perkembangan itu adalah sejalan dengan filsafat Pancasila.
5.    Landasan Teori dari Ilmu Komunikasi.
Edgar Dale menyatakan bahwa teori komunikasi merupakan suatu metode yang paling berguna dalam usaha meningkatkan efektifitas bahan audiovisual (1953).
Teori komunikasi Berlo merupakan suatu pendekatan baru karena implikasinya dalam teknologi pendidikan yang menyebabkan dimasukkannya orang dan bahan sebagai sumber yang merupakan bagian integral dari teknologi pendidikan. Isi pesan serta struktur penggarapannya juga merupakan bagian dari teknologi pendidikan. Segala bentuk pesan (lambang, verbal, taktil, dan wujud nyata) merupakan bagian dari keseluruhan proses komunikasi, sehingga juga bagian dari teknologi pendidikan.
Berbagai teori dan model komunikasi telah membawa pengaruh dalam bidang pendidikan, seperti (1) pendidikan seumur hidup, (2) pendidikan gerak cepat dan tepat, (3) pendidikan yang mudah dicerna dan diresapi, (4) pendidikan yang menarik perhatian dengan cara penyajian yang bervariasi, (5) pendidikan yang menyebar, (6) pendidikan yang tepat saat, yaitu pada saat ada kekosongan pikiran. Semua ini merupakan landasan strategis dalam perkembangan teknologi pendidikan.
Salah satu unsur dalam proses komunikasi yang sangat menonjol peranannya bagi teknologi pendidikan adalah media. Sehingga tak jarang hingga saat ini masih banyak orang yang menanggap bahwa identitas teknologi pendidikan adalah media – suatu pendapat yang sebenarnya kurang tepat.
6.    Landasan Teori dari Disiplin Lain.
Lumsdaine (1964) menyatakan tentang pengaruh teknologi dan kerekayasaan dalam bidang teknologi pendidikan. Misalnya, dari kimia ditemukan litografi dan fotografi (yang juga dipengaruhi optik); dari rekayasa mekanik ditemukan mesin cetak dan peralatan proyeksi; sedangkan penggabungan dari mekanik, optik, elektrik, dan elektronik maka dihasilkan gambar hidup, alat perekam, radio, televisi, mesin pembelajaran dan komputer. Adalah tugas bidang teknologi pendidikan untuk menjabarkan keserasian perangkat keras teknologi tersebut dengan hasil-hasil penelitian dalam ilmu perilaku dan teori belajar.

7.    Aplikasi Teori Psikologi dalam  Teknologi Pendidikan.
Psikologi memiliki berbagai cabang, Namun dalam  teknologi pendidikan lebih memprioritaskan psikologi pendidikan dan psikologi belajar, karena teknologi pendidikan lebih membahas tentang tingkah laku belajar atau subjek dari teknologi pendidikan adalah peserta didik.
Psikologi pendidikan yaitu ilmu yang membahas segi-segi psikologi dalam lapangan pendidikan dimana psikologi pendidikan adalah studi ilmiah mengenai tingkah laku individu dalam situasi pendidikan. Tujuan psikologi pendidikan ialah mempelajari tingkah laku manusia dan perubahan tingkah laku itu sebagai akibat proses dari tangan pendidikan dan berusaha bagaimana suatu tingkah laku itu seharusnya diubah, dibimbing melalui pendidikan (Mustaqim, 2010)
Dengan demikian, psikologi pendidikan dapat diartikan sebagai salah satu cabang psikologi yang secara khusus mengkaji perilaku individu dalam konteks situasi pendidikan dengan tujuan untuk menemukan berbagai fakta, generalisasi dan teori-teori psikologi berkaitan dengan pendidikan, yang diperoleh melalui metode ilmiah tertentu, dalam rangka pencapaian efektivitas proses pendidikan.
Muhibbin Syah (2003) mengatakan bahwa “diantara pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai guru dan calon guru adalah pengetahuan psikologi terapan yang erat kaitannya dengan proses belajar mengajar peserta didik” Dengan memahami psikologi pendidikan, seorang guru melalui pertimbangan – pertimbangan psikologisnya diharapkan dapat :
a.         Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat. Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru akan dapat lebih tepat dalam menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan pembelajaran. Misalnya, dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang taksonomi perilaku individu dan mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan individu.
b.         Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai. Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami siswanya.
c.         Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.Tugas dan peran guru, di samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing para siswanya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya diharapkan guru dapat memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses hubungan interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.
d.        Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik. Memfasilitasi artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa, seperti bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya memberikan dorongan kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai, tampaknya guru akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator maupun motivator belajar siswanya.
e.         Menciptakan iklim belajar yang kondusif. Efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.
f.          Berinteraksi secara tepat dengan siswanya. Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang menyenangkan di hadapan siswanya.
g.         Menilai hasil pembelajaran yang adil. Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan dapat mambantu guru dalam mengembangkan penilaian pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.

8.    Implikasi Teori Psikologi dalam Pendidikan.
Tinjauan tentang psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi sosial dan kesiapan belajar siswa serta aspek-aspek individu akan memberikan implikasi kepada konsep pendidikan. Implikasi itu sebagian besar dalam bidang kurikulum sebab materi pelajaran dan proses belajar mengajar itu harus sejalan dengan perkembangan individu yang belajar, cara belajar, dan cara mereka mengadakan kontak sosial dan kesiapan mereka belajar. Implikasinya kepada konsep pendidikan ialah sebagai berikut :
1.         Psikologi perkembangan yang bersifat umum, yang berorientasi pada afeksi dan kognisi semuanya memberi petunjuk pada pendidik bagaimana seharusnya ia menyiapkan dan mengorganisasi materi pendidikan serta bagaimana membina anak-anak agar mereka mau belajar dengan sukarela.
2.         Psikologi Belajar secara klasik membentuk :
a.        disiplin mental yang bermanfaat untuk mengerjakan tugas dan latihan.Psikologi belajar naturalis dan aktualisasi diri bermanfaat untuk pendidikan seumur hidup.
b.        Psikologi belajar Behavioris bermanfaat atau cocok untuk membentuk perilaku nyata seperti : mau menyumbang, giat bekerja, gemar menyanyi dan sebagainya.
c.         Kognisi cocok untuk mempelajari pelajaran-pelajaran yang rumit yang membutuhkan pemahaman untuk memecahkan masalah dan berkreasi untuk menciptakan bentuk inovasi atau ide yang baru.
3.         Psikologi Sosial :
a.        Persepsi diri atau konsep tentang diri sendiri ternyata bersumber dari perilaku yang overt dan persepsi kita terhadap lingkungan dan banyak dipengaruhi oleh sikap dan perasaan kita. Agar para siswa memiliki konsep diri yang rill maka pendidik perlu mengembangkan  perilaku yang overt, persepsi terhadap lingkungan secara wajar dan sikap serta perasaan yang positif. Konsep diri yang keliru, akan dapat merusak perkembangan anak.
b.        Pembentukan sikap bisa secara alami, dikondisi dan meniru sikap para tokoh. Pendidik perlu membentuk sikap anak yang positif. Oleh sebab itu, cara pembentukan sikap ini perlu direncanakan dan dilaksanakan pada waktu dan situasi yang tepat.
c.         Sama halnya dengan sikap, motivasi anak-anak juga perlu dikembangkan pada saat yang memungkinkan melalui : Pemenuhan minat dan kebutuhannya, tugas-tugas yang menantang dan menanamkan harapan yang sukses dengan cara sering memberikan pengalaman sukses.
d.        Hubungan yang intim diperlukan dalam proses konseling, pembimbingan dan belajar dalam kelompok. Karena itu hubungan seperti ini perlu dikembangkan oleh para pendidik.
e.         Pendidik perlu membendung perilaku agresif anti sosial, tetapi perlu mengembangkan agresif pro-sosial dan sanksi. Pengurangan agresif anti sosial dapat dilakukan dengan menannamkan ketertiban, tidak menganggu orang lain dan menghindari rasa putus asa.
f.         Pendidik juga perlu mengembangkan kemampuan memimpin anak terhadap temannya, sebab kepemimpinan sangat besar peranannya dalam kesuksesan dan keberhasilan belajar anak setelah dewasa nanti.
4.         Kesiapan belajar yang bersifat afektif dan kognitif perlu diperhatikan oleh pendidik agar materi pelajaran dapat dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan anak. Kesiapan afektif harus dikembangkan dengan model pengembangan motivasi, sedangkan kesiapan kognisi dipelajari dari tingkat perkembangan tahapan kognisi mereka.
5.         Wujud perkembangan total atau berkembang seutuhnya memenuhi tiga kriteria, yaitu :
a.         Semua potensi berkembang secara proposional dan harmonis.
b.        Semua potensi berkembang secara optimal.
c.         Semua potensi berkembang secara integratif.


C.   Kesimpulan dan Saran.
1.         Kesimpulan :
a.       Landasan teori psikologi yang memiliki pengaruh dalam perkembangan ilmu teknologi pendidikan diantaranya ialah : Teori psikologi perkembangan, Teori Psikologi sosial, Teori Psikologi Belajar, Teori Psikologi Individu dan lain sebagainya.
b.      Teori Psikologi sangat penting dipelajari dan dipahami oleh guru, karena membantu guru dalam kelancaran proses pembelajaran agar situasi dan kondisi pembelajaran menyenangkan, membantu guru dalam memilih metode mengajar agar diperoleh hasil belajar yang memuaskan dan membantu guru dalam mengenali perilaku dan karakteristik siswanya. Pemahaman guru terhadap teori psikologi menjadi bahan pertimbangan guru  dalam memilih materi pelajaran dan media pembelajaran.
c.       Kesiapan peserta didik dalam menerima pelajaran dapat diindikasikan dengan kesiapan kognitif (Head), afektif (Heart), psikomotor (Hand) dan interpersonal (human). Kesiapan ini dapat dilihat oleh guru dari psikologi perkembangan setiap komponen di atas. Contoh Psikomotor : Jika siswa sudah bisa menggunakan Tang Kombinasi maka siswa sudah siap memasang instalasi listrik.
d.      Teori Psikologi Perkembangan Jean Piaget menyatakan bahwa pada periode Pra-operasinal (umur 2 tahun sampai dengan 7 tahun) : perkembangan bahasa anak sangat cepat, cenderung menyukai dongeng, dan cerita bergambar. Hal ini menjadi landasan teori psikologi bagi guru TK dan SD untuk menggunakan media gambar dalam membantu menyampaikan pesan/pelajaran ke siswa.
e.       Teori Psikologi Belajar (behaviorisme) menyatakan bahwa hasil belajar adalah terbentuknya perilaku baru yang lebih baik. Hal ini menjadi landasan teori bagi guru untuk merumuskan tujuan instruksional (tujuan yang menghendaki siswa dapat melakukan sesuatu, atau tingkah laku yang ingin dicapai) dalam Rencana Persiapan Pembelajaran yang dibuat guru.
f.       Teori Belajar Konstruktivitas yang menggabungkan bagian-bagian dari beberapa materi  pelajaran menjadi suatu ilmu baru yang bermanfaat menjadi landasan teori bagi guru untuk menyampaikan tujuan utama (target yang hendak dicapai) pada awal pertemuan saat proses pembelajaran.
2.          Saran-saran :
a.             Sebaiknya guru mengenali karakteristik siswanya, latarbelakang lingkungannya dan pengalaman belajar yang sudah dilalui siswanya, agar proses pembelajaran sesuai dengan kondisi siswanya.
b.             Proses pembelajaran yang menyenangkan dimana terjadi umpan balik dari siswa yang belajar, adanya stimulus dari guru, pujian atas keberhasilan siswa, pembangkitan motivasi siswa akan menghasilkan hasil belajar yang lebih baik. Hal ini sebaiknya terus dilakukan oleh guru dalam mengelola proses pembelajaran.
c.             Guru sebaiknya selalu menyampaikan tujuan belajar (baik tujuan setiap topik maupun tujuan akhir pembelajaran) pada setiap pembelajaran akan di mulai.
  
-DAFTAR PUSTAKA

Callahan, Joseph & Leonard, 1983. ” Foundations of Educations”. New York, Mc. Milland Publishing Co. Inc. USA.
Khadijah, Nyayu, 2009.  ” Psikologi Pendidikan” , Palembang, Grafika Telindo Press, Sumatera Selatan.
Pidarta, Made, 2007. “Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia”, Jakarta, Rieneka Cipta Indonesia.
Salma P, Dewi & Siregar, Eveline, 2004.   “Mozaik Teknologi Pendidikan”, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Indonesia.
Santrock, John W, 1995.  ”Psikologi  Pendidikan” , Edisi kedua, Jakarta, Kencana P.Media Group,  Jakarta.
Savage, Tom, 1991, ”Discipline For Self Control, Professional Educations”,New Jersey, Prentice Hall
Sell, Barbara & Richey, Rita C, 1994. “Teknologi Pembelajaran, Definisi dan Kawasannya”, Universitas Negeri Jakarta, Indonesia.
Suryabrata, Sumadi, 1987.  ”Psikologi Pendidikan”, Jakarta, CV. Rajawali.
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar